Kita perlu belajar dari mereka….

Ceritanya seminggu yang lalu, saya pulang kampung ke Bukittinggi…
sejak skripsi jadi jarang pulang kampung, jadi ketika urusan kampus lumayan selesai
akhirnya minggu kemaren bisa pulang meskipun mesti diam2,
kalau ketauan anak2 bisa nggak jadi pulang karna absen dari beberapa rapat 😀

Ketika masuk angkot menuju kota kecil saya “Sungai Pua”, angkotnya masih sangat sepi. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya
satu persatu penumpang mulai masuk, ada yang pulang sekolah, pulang jualan, ada juga yang pulang kantor….
masih ada bangku kosong di depan saya yang muat untuk 2 orang lagi…
Setelah menunggu beberapa menit..akhirnya masuklah sepadang suami istri bersama seorang anak perempuannya yang berumur 5 tahun.
Suami istri ini berbadan gemuk dengan barang bawaan yang lumayan banyak, angkot yang awalnya hanya sepi tiba-tiba berubah
sedikit gaduh dengan barang bawaan mereka yang lumayan banyak dan memenuhi tempat-tempat kosong di dalam angkot…

Akhirnya angkot ini berjalan membelah jalan raya Bukittinggi nan sejuk…
Suami istri tadi persis duduk di depan saya, anaknya yang masih kecil duduk di pangkuan ayahnya yang telah bermandikan keringat…
Sepanjang perjalanan saya amati semua penumpang di dalam mobil. Sebagian besar perhatian mereka berfokus kepada suami istri yang masuk paling terakhir…bagaimana tidak, tampilan mereka sangat kontras dengan semua penumpang di dalam mobil.
Sebagian besar memakai kemeja, baju dinas, seragam sekolah yang lumayan rapi dan harum tentunya, si suami istri tadi memakai
baju kaos yang telah lusuh, tangan yang masih kotor bergelimangan dengan darah, wajah letih yang telah bermandikan keringat ditambah barang bawaan yang lumayan mengganggu kenyamanan penumpang lain.

Saya amati satu persatu penumpang..menerka kira-kira apa yang mereka fikirkan tentang sepasang suami istri beserta anaknya yang tak kalah kumal…entahlah saya tak tahu persis apa yang mereka fikirkan, namun yang jelas nampaknya si istri tidak begitu nyaman duduk di dalam angkot, wajah capek nan cemberut terpekur memperhatikan lantai angkot, ntah apa yang ada di benak wanita itu.
Sepanjang perjalanan mata saya tak beralih dari suami istri ini, bergantian saya perhatikan semua tingkah laku mereka, memperhatikan bahasa tubuh, mimik wajah hingga penampilan mereka.

Sang istri tetap saja bungkam, tak berbicara kepada suaminya, tidak pula bergerak terlalu banyak, diaamm…memperhatikan lantai angkot. Ingin sekali saya tau apa yang ada di fikirannya, ingin sekali membaca isi hatinya melalui bola mata yang tampak sangat lelah, tangan yang bergelimangan darah berusaha ditutupinya dengan mendekap tangannya. Sang suami sibuk membelai kepala anaknya, membukakan makanan kecil untuk anaknya sambil sesekali mencium pipi sang anak. Ntah kehidupan sekeras apa yang tengah mereka geluti,
bercucuran keringat kerja seharian di pasar hingga senja serta membawa anak perempuan kecil yang seharusnya puas bermain dengan teman-teman sebayanya tanpa harus berpanas-panasan ikut ke pasar dengan kedua orang tuanya.

Di perjalanan ibu yang duduk di samping saya berbicara dengan suami perempuan itu, menanyakan pekerjaannya maka dari sanalah saya tau ternyata mereka baru selesai berjualan ayam potong, pantes…tangan mereka bergelimangan darah.
Sang suami menjawabnya dengan ringan, tertawa lepas sambil sesekali membelai kepala anaknya. Tampaknya tiada kebahagiaan yang kurang dari keluarga kecil ini, meski kerja keras seharian bermandikan keringat, toh anaknya masih bisa tumbuh dengan sehat, bisa ceria dan tersenyum, mereka tetap bahagia dengan hidup seperti itu dan yang terpenting mereka bisa makan dengan uang halal tanpa hasil korupsi.

Saya tak bisa membayangkan jika saya berada pada posisi mereka atau setidaknya saya mempunyai profesi sebagai tukang jualan ayam yang mesti seharian penuh hidup di pasar. Apa saya sanggup seperti mereka, bisa tetap tersenyum bahagia penuh syukur dengan karunia hidup ini atau malah mengumpat setiap saat mengasihani diri ini. Apakah bisa tetap tersenyum sumringah atau hanya banyak cemberut mengutuki hidup yang serba kekurangan.

Dari orang-orang seperti ini seharusnya kita banyak belajar, merenungi makna hidup yang sebenarnya. Mereka kotor, bau, kumal namun lihatlah hidup mereka, tetap bahagia meski dengan kekurangan di sana sini. Senyum mereka bukan senyum kepura-puraan yang banyak ditampilkan manusia saat ini. Mereka mencari rejeki dengan cara yang halal untuk bisa membiayai keluarga mereka, bukan makan dengan hasil korupsi seperti kita lihat pada sebagian dari pejabat negri kita. Lihatlah senyum mereka bukankah senyum sederhana itu yang kita rindukan selama ini, senyum sederhana sama seperti senyum milik orang tua kita yang berpeluh seharian di sawah, senyum tulus yang benar-benar menenangkan. Bukankah senyum itu yang telah lama tak kita temui disini, di tempat dimana carut marut zaman berserakan.

Mari belajar dari orang-orang kecil ini yang memaknai hidup dengan kepolosan mereka…
Jangan pernah meremehkan mereka, memandang rendah atau melirik mereka dengan sebelah mata…
Karena makna hidup hanya mereka yang paling hebat untuk memaknainya…
Semoga kita dianugrahi nurani yang peka memaknai hidup dari hal-hal yang sedehana, amiinn… 🙂

18 tanggapan untuk “Kita perlu belajar dari mereka….”

    1. saya juga kok mamayara..nggak jauh beda dari mereka..sama2 manusia…
      bedanya saya belum terjun ke duna sebenarnya tpi kalau mamayara pasti sdh merasakan asam garam kehidupan 🙂

      Suka

  1. Pelajaran berharga sering datang dari orang-orang biasa ya, bukan dari guru atau orang tua.
    Saya dari dulu pengen banget ke Bukittinggi… selalu iri kalo ada orang yang bilang tentang cantiknya kota itu

    Suka

  2. sya berdagang masuk ke toko/warung dgn motor saja terkadang msh suka mengeluh bgmn yg berkelilingnya dgn bersepeda/jalan kaki…. trims mb sdh mengingatkan !

    Suka

  3. hikmah berserakan dimana-mana, hanyalah hati nurani yang bersih sanggup menangkapnya dan menjadikannya pelajaran dalam kehidupan ini

    selamat belajar mb, dan tentu juga pengingat bagi saya 🙂

    Suka

jangan lupa tinggalkan komentar kawan ^^